HUKUM PERHUTANGAN
Pada
hukum adat, yang dimaksud dengan hukum perhutangan ialah kaidah-kaidah yang
mengatur hak-hak anggota persekutuan atas benda-benda yang bukan tanah. Sebagai
persekutuan ialah sebagai keseluruhan tidak dapat melakukan
tindakan-tindakan yang akan menghalangi hak-hak perseorangan sepanjang hak-hak
itu menganai benda-benda yang bukan tanah. Dengan catatan, apabila hak
perseorangan itu akan digunakan untuk kepentingan umum, maka persekutuan akan
membayar ganti rugi. Hak-hak perseorangan ini dapat berupa hak milik, namun
bukan atas tanah, sebab hukum adat itu sendiri mengenal yang namanya asas
pemisahan horizontal, yakni pada dasarnya hak atas rumah, tanaman-tanaman
terpisah dengan hak milik atas tanah diatas mana rumah dan tanaman-tanaman itu
berada. Asas pemisahan horizontal ini dampaknya orang dapat mengadakan
transaksi atas tumah atau tanaman-tanaman, dengan catatanya hanya atas rumah
dan tanaman-tanaman dan segala sesuatu yang ada di atas tanah, asalkan bukan
tanahnya. Orang yang menamai tanah pada prinsipnya adalah pemilik dari tanaman
yang ditanaminya. Prinsip ini merupakan titik tolak untuk hubungan hukum dimana
seorang menanami tanah orang lain, yang dapat terjadi dengan cara:
1.
Rechtmatig
(tidak berlawanan dengan hukum) : dilakukan dengan sepengeta-
huan pemilik tanah, berarti berdasarkan perjanjian, karena itu hasil dari
tanaman dibagi antara pemilik tanah dan penanam, sesuai dengan perjanjian.
2.
Pinjam Pakai barang yang dipinjam,
dikembalikan dengan barang sejenis. Hutang tenaga- biasanya dibayar lagi dengan
tenaga. Hutang uang- biasanya dibayar dengan uang, orang yang mempunyai hutang
uang biasanya disebut peminjam. Cara meminjamkan uang yaitu; meminjamkan uang
tanpa bunga dan meminjamkan uang dengan membayar bunga.
SISTEM HUKUM ADAT / STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM ADAT
Untuk
dapat memahami sistem hukum adat, terlebih dahulu fahami sifat dan struktur
susunan masyarakat dimana hukum adat itu tumbuh. Masyarakat itu sendiri terdiri dari
kelompok-kelompok dimana setiap anggotanya memiliki keyakinan bahwa tindakannya
tidak hanya akan membawa akibat pada dirinya sendiri saja, melainkan juga akan
dirasakan oleh anggota-anggota kelompok lainnya. Tiap kelompok ini hidup dalam
persekutuan, yang dinamakan dengan persekutuan hukum. Persekutuan hukum itu
ialah sekelompok orang-orang yang terikat sebagai satu kesatuan dalam suatu
susunan yang teratur, bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik
berujud maupun tidak berujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah
tertentu.
Dinamakan
persekutuan hukum sebab di dalam kelompok itulah bangkitnya serta
dibinanya kaidah-kaidah hukum adat sebagai suatu endapan daripada
kenyataan-kenyataan sosial, dilain pihak karena kelompok-kelompok itu dalam
hubungannya antara satu dengan yang lain bersikap sebagai suatu kesatuan dan
juga hidup dalam suatu pergaulan hukum antar kelompok maka
kelompok-kelompok itu juga merupakan subjek hukum. Ada beberapa persekutuan
hukum adat, persekutuan ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu ; faktor
genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah). Dari kedua faktor
tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) type persekutuan hukum adat, yaitu ;
persekutuan hukum genealogis, persekutuan hukum teritorial dan persekutuan
hukum genealogis teritorial. Persekutuan Hukum Genealogis Persekutuan hukum ini
berdasarkan faktor pengikat genealogis (keturunan) mengakibatkan
anggota-anggotanya merasa dilahirkan dan berasal dari nenek moyang yang sama.
Secara sistematis dapat dibedakan dalam dua macam persekutuan genealogis
ditambahkan satu bentuk khusus, yaitu : masyarakat unilateral, masyarakat
bilateral / parental dan masyarakat alternerend / berganti-ganti.
PENGARUH FAKTOR SOSIOLOGIS TERHADAP PERUBAHAN GARIS
KETURUNAN DALAM MASYARAKAT ADAT
Begitu juga hal ini pada adat
manusia itu sendiri, dari masa ke masa perubahan garis keturunan hukum adat
dari unilateral ke arah bilateral. Perubahan- perubahan ini tidak terjadi
begitu saja, melainkan karena oleh faktor-faktor tertentu yang mendukug
perubahan itu, seperti ; faktor pendidikan, faktor perantauan, faktor ekonomi
(industrialisasi, teknologi, modernisasi), revolusi, faktor ideologi, faktor
islam dan faktor politik.
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
•
UUD Tahun 1945, pada UUD ini tidak
ada satu pasalpun yang memuat dasar
berlakunya hukum adat.
•
UUDS 1950, pasal 104 “segala
keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman
menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukuman itu”.
•
UU No 1 Tahun 1951, dengan
undang-undang ini hukum adat diakui namun dapat dikesampingkan bila menurut
hakim hukumadat tidak selaras dengan zaman yang senantiasa berubah. Dengan kata
lain, hakim memberikan hukuman berdasarkan kesalahan orang tersebut. Adat
yang realisasinya beru terlaksana secara keseluruhan pada tahun 1970 yaitu
dengan ditetapkannya penghapusan pengadilan adat Irian Jaya.
•
UU No. 5 Tahun 1960, UUPA mengakui
hak ulayat sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Hukum adat dalam lapangan
keagrariaan, diberikan pembatan yaitu tidak boleh bertentangan dengan
kepentinfan nasionalisme negara yang berdasarkan persatuan bangsa, tidak boleh
bertentangan dengan nasionalisme Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan dalam UUPA dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
perundangan lainnya.
•
UU No. 5 Tahun 1967, hukum adat
mendapat pengakuan yang kurang begitu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar