Selasa, 10 Januari 2017

Hukum Perhutangan



HUKUM PERHUTANGAN
Pada hukum adat, yang dimaksud dengan hukum perhutangan ialah kaidah-kaidah yang mengatur hak-hak anggota persekutuan atas benda-benda yang bukan tanah. Sebagai  persekutuan ialah sebagai keseluruhan tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang akan menghalangi hak-hak perseorangan sepanjang hak-hak itu menganai benda-benda yang  bukan tanah. Dengan catatan, apabila hak perseorangan itu akan digunakan untuk kepentingan umum, maka persekutuan akan membayar ganti rugi. Hak-hak perseorangan ini dapat berupa hak milik, namun bukan atas tanah, sebab hukum adat itu sendiri mengenal yang namanya asas pemisahan horizontal, yakni pada dasarnya hak atas rumah, tanaman-tanaman terpisah dengan hak milik atas tanah diatas mana rumah dan tanaman-tanaman itu berada. Asas pemisahan horizontal ini dampaknya orang dapat mengadakan transaksi atas tumah atau tanaman-tanaman, dengan catatanya hanya atas rumah dan tanaman-tanaman dan segala sesuatu yang ada di atas tanah, asalkan bukan tanahnya. Orang yang menamai tanah pada prinsipnya adalah pemilik dari tanaman yang ditanaminya. Prinsip ini merupakan titik tolak untuk hubungan hukum dimana seorang menanami tanah orang lain, yang dapat terjadi dengan cara:
1.    Rechtmatig
(tidak berlawanan dengan hukum) : dilakukan dengan sepengeta- huan  pemilik tanah, berarti berdasarkan perjanjian, karena itu hasil dari tanaman dibagi antara pemilik tanah dan penanam, sesuai dengan perjanjian.
2.    Pinjam Pakai barang yang dipinjam, dikembalikan dengan barang sejenis. Hutang tenaga- biasanya dibayar lagi dengan tenaga. Hutang uang- biasanya dibayar dengan uang, orang yang mempunyai hutang uang biasanya disebut peminjam. Cara meminjamkan uang yaitu; meminjamkan uang tanpa bunga dan meminjamkan uang dengan membayar bunga.

SISTEM HUKUM ADAT / STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM ADAT
Untuk dapat memahami sistem hukum adat, terlebih dahulu fahami sifat dan struktur susunan masyarakat dimana hukum adat itu tumbuh.  Masyarakat itu sendiri terdiri dari kelompok-kelompok dimana setiap anggotanya memiliki keyakinan bahwa tindakannya tidak hanya akan membawa akibat pada dirinya sendiri saja, melainkan juga akan dirasakan oleh anggota-anggota kelompok lainnya. Tiap kelompok ini hidup dalam persekutuan, yang dinamakan dengan persekutuan hukum. Persekutuan hukum itu ialah sekelompok orang-orang yang terikat sebagai satu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur, bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik berujud maupun tidak berujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu.
Dinamakan persekutuan hukum sebab di dalam kelompok itulah  bangkitnya serta dibinanya kaidah-kaidah hukum adat sebagai suatu endapan daripada kenyataan-kenyataan sosial, dilain pihak karena kelompok-kelompok itu dalam hubungannya antara satu dengan yang lain bersikap sebagai suatu kesatuan dan juga hidup dalam suatu  pergaulan hukum antar kelompok maka kelompok-kelompok itu juga merupakan subjek hukum. Ada beberapa persekutuan hukum adat, persekutuan ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu ; faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah). Dari kedua faktor tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) type persekutuan hukum adat, yaitu ; persekutuan hukum genealogis, persekutuan hukum teritorial dan persekutuan hukum genealogis teritorial. Persekutuan Hukum Genealogis Persekutuan hukum ini berdasarkan faktor pengikat genealogis (keturunan) mengakibatkan anggota-anggotanya merasa dilahirkan dan berasal dari nenek moyang yang sama. Secara sistematis dapat dibedakan dalam dua macam  persekutuan genealogis ditambahkan satu bentuk khusus, yaitu : masyarakat unilateral, masyarakat bilateral / parental dan masyarakat alternerend / berganti-ganti.
PENGARUH FAKTOR SOSIOLOGIS TERHADAP PERUBAHAN GARIS KETURUNAN DALAM MASYARAKAT ADAT 
Begitu juga hal ini pada adat manusia itu sendiri, dari masa ke masa perubahan garis keturunan hukum adat dari unilateral ke arah bilateral. Perubahan- perubahan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan karena oleh faktor-faktor tertentu yang mendukug perubahan itu, seperti ; faktor pendidikan, faktor perantauan, faktor ekonomi (industrialisasi, teknologi, modernisasi), revolusi, faktor ideologi, faktor islam dan faktor  politik.
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM PERUNDANG-UNDANGAN  
            UUD Tahun 1945, pada UUD ini tidak ada satu pasalpun yang memuat dasar  berlakunya hukum adat.
             UUDS 1950, pasal 104 “segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu”.
             UU No 1 Tahun 1951, dengan undang-undang ini hukum adat diakui namun dapat dikesampingkan bila menurut hakim hukumadat tidak selaras dengan zaman yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, hakim memberikan hukuman  berdasarkan kesalahan orang tersebut. Adat yang realisasinya beru terlaksana secara keseluruhan pada tahun 1970 yaitu dengan ditetapkannya penghapusan  pengadilan adat Irian Jaya.
            UU No. 5 Tahun 1960, UUPA mengakui hak ulayat sepanjang dalam kenyataannya masih ada. Hukum adat dalam lapangan keagrariaan, diberikan  pembatan yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepentinfan nasionalisme negara yang berdasarkan persatuan bangsa, tidak boleh bertentangan dengan nasionalisme Indonesia, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam UUPA dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundangan lainnya.
            UU No. 5 Tahun 1967, hukum adat mendapat pengakuan yang kurang begitu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar